-
Sejarah Paroki Santo Fransiskus Assisi Aek Nabara
Sekitar Tahun 1932, umat Katolik sudah ada di wilayah Wingfoot. Hal itu nyata dengan keberadaan Bapak Petrus Nainggolan bersama beberapa keluarga yang sudah mengadakan ibadat di rumah-rumah keluarga. Kemudian, Pastor Misionaris dari Tanjungbalai datang untuk mencari umat dan mewartakan Injil kepada mereka. Namun, karena jarak yang sangat jauh dan kondisi jalan yang sangat parah membuat pelayanan dari misionaris menjadi kurang maksimal. Ketika itu pelayanan sakramen-sakramen sangat jarang. Untuk menjamin kebaktian di Wingfoot, maka Pastor menetapkan beberapa umat untuk memimpin ibadat. Situasi bangsa Indonesia pun masih berada dalam tekanan penjajah. Baru kemudian sekitar tahun 1950 umat Katolik dapat merayakan Ibadat Sabda hari Minggu dan Perayaan Ekaristi di Wisma Perkebunan Goodyear PTP III Wingfoot. Pada waktu itu, umat Katolik belum juga memiliki gedung gereja. Jumlah keluarga yang berhimpun diperkirakan 32 keluarga. Di antara umat yang sudah ada pada waktu itu, termasuk dr. Robinson dan dr. Seto, keduanya berkebangsaan Amerika yang menjadi anggota Gereja Katolik PTP III.
Selain dari Tanjungbalai, imam yang melayani sakramen-sakramen pada waktu itu datang dari Parapat. Di antaranya ialah RP. Pius Datubara, OFMCap yang kemudian menjadi Mgr. Pius Datubara, OFMCap. Pastor Pius bersama para Frater Kapusin datang untuk melayani umat di PTP III Wingfoot. Pada saat jadwal kunjungannya, mereka menginap di rumah umat. Dari situ mereka pergi ke stasi-stasi untuk merayakan Ekaristi dan pembinaan umat. Para Pastor dari Tanjungbalai yang pernah melakukan pelayanan sakramen dan kunjungan pastoral ialah RP. Arie Van Diemen, OFMCap, RP. Meinrad Manser, OFMCap, RP. Scheven, OFMCap dan RP. Beatus Jenniskens, OFMCap yang lama berkarya di Aek Kanopan.
Upaya untuk memandirikan umat sangat tampak melalui pencarian tanah untuk pendirian gedung gereja. Sekitar tahun 1960 diperoleh sebidang tanah di Jalan Rantauprapat. Di lokasi ini didirikanlah gedung gereja yang sangat sederhana dengan Bapak Emanuel Pangaribuan sebagai Voorganger. Ketika gedung gereja berada di lokasi ini, umat digembalakan oleh pastor dari Paroki Santo Mikael Tanjungbalai dan kemudian Paroki Santo Pius X Aek Kanopan. Pastor yang pernah berkarya di antaranya adalah RP. Remigius Pennoch, OFMCap, RP. Scheven, OFMCap, RP. Luigi Magnasco, SX, RP. Franseco Marini, SX, dan RP. Arie Van Diemen, OFMCap.
Sekitar tahun 1970, umat mengajukan permohonan kepada pihak perkebunan agar membantu Gereja Katolik untuk memiliki sebidang tanah yang dapat dipergunakan untuk mendirikan gedung gereja di Jalan Ampera. Reksa pastoral gereja ini ditanggungjawabi oleh pastor dari Paroki Santo Pius X Aek Kanopan.
Pada tanggal 16 Mei 1975, Paroki Santo Pius X Aek Kanopan dibuka secara resmi dengan bangunan pastoran yang sangat sederhana. Ada pun pelayanan pastoral meliputi wilayah Aek Kanopan dan Aek Nabara dengan semua stasi-stasinya. Batas-batas wilayah pelayanan Paroki Aek Nabara sudah ditentukan dan pengisian Buku Permandian dan Buku Perkawinan sudah mulai dilakukan.
Pada tahun 1976, RP. Luigi Magnasco, SX yang bertugas di Keuskupan Agung Medan sedang belajar bahasa Batak Toba di Palipi bertemu dengan RP. Germano Framarin, SX. Mereka kemudian pergi bersama berkunjung ke Labuhanbatu yang akan menjadi tempat berkarya mereka di tahun berikutnya. Setelah selesai belajar bahasa Batak Toba selama enam (6) bulan, RP. Germano Framarin, SX., mulai bertugas di Paroki Santo Pius X Aek Kanopan sejak bulan Maret 1978. Sementara itu, RP. Luigi Magnasco, SX., bertugas di Paroki Aek Nabara didampingi oleh RP. Fransesco Marini, SX.
Pada tanggal 4 Oktober 1978, Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap., meresmikan Paroki Aek Nabara dengan nama pelindung Santo Fransiskus Assisi. Sejak awal, Paroki Santo Fransiskus Assisi Aek Nabara dilayani oleh dua (2) pastor dari Serikat Xaverian (SX) dan tiga (3) suster dari Kongregasi Suster Kasih Yesus dan Maria Bunda Pertolongan Baik (KYM). Keberadaan Para Suster KYM adalah atas permintaan RP. Germano Framarin, SX., kepada Kongregasi KYM di Pematangsiantar pada tanggal 3 Mei 1978 untuk berkarya di bidang pastoral. Ada pun suster pertama yang diutus oleh Kongregasi KYM adalah Sr. Regina Nainggolan, KYM., Sr. Flora Situmorang, KYM., dan Sr. Angela Sinaga, KYM. Sebagai komunitas, Para Pastor tinggal di pastoran sementara Para Suster tinggal di sebuah rumah yang disewakan dekat pastoran sambil menunggu dibangunnya susteran di kompleks gereja.